“Wong wedok (perempuan) kok pergi-pergi terus ninggalin keluarga?” Pernyataan demikian sudah biasa didengar Endang Mulyani Putro, seorang perempuan (54) pegiat isu kebencanaan. Di mata kerabat dan tetangga, Endang – sapaan akrabnya – dianggap terlalu sibuk berkeliling Indonesia dan dianggap tidak peduli terhadap keluarga.
“Itulah namanya diskriminasi terhadap resiliensi perempuan,” ujar Endang yang menceritakan komentar-komentar negatif yang pernah diterimanya saat berbincang dengan Konde.co melalui Zoom pada Rabu, (15/2/2023).
Padahal, perjalanan yang dilakukan perempuan kelahiran Sragen, 21 September 1969 ini ke berbagai daerah memiliki tujuan mulia. Ia ingin berbagi pengetahuan dan mengenalkan isu-isu kebencanaan kepada banyak orang, terutama anak-anak. Selama lebih dari satu dekade, ia telah mengembangkan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berbasis kearifan lokal.
Kiprah Endang dimulai sejak 2009. Ketika ia mendapat tugas dari Aisyiyah, organisasi perempuan Persyarikatan Muhammadiyah, di mana Endang telah bernaung sejak tahun 1997. Tugas tersebut adalah untuk pindah ke sebuah TK di daerah Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur. Sekolah di bawah naungan Aisyiyah itu hampir kolaps dan citranya di tengah masyarakat pun tak bisa dikatakan bagus. Lokasi sekolah berada di pesisir Selat Madura. “Masyarakat sekitar lebih sering menyebutnya sebagai sekolah ‘bau Kenjeran’, yang berarti ‘bau ebi kering’,” ungkap Endang.
Pada hari pertama menjalankan tugasnya, Endang memiliki cita-cita besar untuk menjadikan sekolah tempatnya mengabdi sebagai PAUD rujukan. Ia pun mulai memutar otak mencari cara untuk mencapai target itu. Setelah berkontemplasi, Endang memutuskan untuk fokus pada menciptakan dan mengembangkan materi ajar tentang kearifan lokal terkhusus mengenai unsur kebencanaan.
“Selama ini, pemahaman berkearifan lokal di masyarakat masih sebatas pada soal budaya saja. Saya terpikir untuk membahas kearifan lokal terlebih dahulu dari aspek di mana kita berpijak, yaitu bagaimana kita memahami ‘iqra’ (membaca) alam di lingkungan terdekat kita,” ujarnya.
Saat memberikan pendampingan pertama kali pada guru-guru PAUD, Endang membawakan materi tentang abrasi. Ia menjelaskan panjang lebar bahwa daerah Kenjeran memiliki potensi abrasi yang tinggi. Ketika sesi tanya jawab, ia terkejut karena para guru tidak mengetahui apapun mengenai abrasi. “Bagaimana bisa kamu di kondisi seperti ini, di mana keadaan abrasi ada di depanmu, tapi kamu ndak ngerti,” katanya.
Sejak itulah, ia giat mengenalkan konsep kearifan lokal kepada para guru dan murid di sekolah. Ia merancang bahan ajar dengan memasukkan informasi tentang lokasi geografis dan geologis PAUD, potensi bencana di daerah tersebut, sejarah daerahnya, sumber daya alamnya, dan bahkan cerita tentang kondisi sosial budaya masyarakat di sana.
Karena lokasinya berada di daerah pesisir, Endang pun mendapat ide untuk mengembangkan model Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berkearifan lokal yang memiliki karakteristik bahari. “Orang-orang yang tinggal di pantai menyadari adanya ancaman bencana di sekitarnya, sungguh mengkhawatirkan bukan? Itulah yg mendorong saya mengembangkan pendidikan berkearifan lokal dengan karakteristik bahari. Saya berpikir, jika anak-anak mengetahui kearifan lokal, maka otomatis mereka akan mengetahui tentang bencana dan bagaimana menghadapinya,” ucapnya.
Ketertarikannya terhadap isu bencana bermula saat ia masih kanak-kanak. Endang kecil sudah tertarik dengan film-film dokumenter tentang bumi dan antariksa.
Ketika masih SD hingga SMA, Endang aktif mengikuti kegiatan Pramuka. Selama SMA, dia juga bergabung dengan ekstrakurikuler pecinta alam. Setelah lulus SMA, Endang bermaksud kuliah di jurusan geologi. Sayangnya, keinginannya tidak terwujud karena ia tak memperoleh restu orang tuanya.
Endang akhirnya memilih pendidikan sarjana jurusan teknik sipil. Perempuan yang kini memegang gelar master pendidikan bahasa dari Universitas Muhammadiyah Surabaya ini kini berkecimpung di sektor kebencanaan dan memperdalam pengetahuan kebencanaan untuk anak usia dini.
Menurutnya, pengenalan isu kebencanaan terutama di kalangan anak-anak masih sangat minim. Hal ini membuat penerapan penanganan situasi kebencanaan bagi anak-anak kurang optimal. “Ketika terjadi bencana, apakah kita memepertimbangkan kebutuhan makanan anak-anak? Apakah dapur menyediakan makanan untuk usia 1 tahun gak? Jangan-jangan anaknya hanya diberi mie instan karena tidak tersedia makanan yang tidak pedas? tukas Endang.
Selama satu dekade, Endang melakukan uji coba penetrasi bahan ajar buatannya kepada anak-anak PAUD, dan ia pun mendapat hasil yang signifikan. Anak-anak didikannya menjadi lebih peka dengan kondisi sekitar mereka dan memahami jenis potensi bencana di daerah mereka seperti tsunami, banjir rob, dan lainnya, serta tahu bagaimana cara memitigasi risiko dan menghadapinya saat terjadi.
“Memiliki mindset untuk memastikan diri harus dimulai sejak usia dini. Pengetahuan yang diberikan pada masa-masa tersebut akan nandes (membekas),” ujar Endang bersemangat.
Ia bercerita bahwa anak-anak didiknya pula yang memotivasinya untuk terus memperbaiki kapabilitas dirinya.
“Pembelajaran anak usia dini itu harus konkret dan detail sekali!” serunya.
Endang sangat lihai memberi pemahaman terkait isu bencana kepada anak-anak usia dini karena ia pernah menekuni teater saat masih sekolah dasar hingga menengah. Ia mengaplikasi ilmu teater yang dimilikinya, seperti teknik bicara, mimik wajah, gerak tubuh saat sedang mengajar. “Kalau lihat mata mereka berbinar-binar dan serius mendengarkan materi saya, saya bangga banget,” ungkap Endang.
Tidak hanya anak-anak yang mendapat manfaat dari didikan Endang, tetapi juga keluarga mereka.
“Mendidik anak usia dini juga berarti mendidik anggota keluarganya. Kalau anggota keluarga membuang sampah sembarang, pasti akan diingatkan anaknya. Meskipun hasilnya memang tidak instan, namun dalam 5 hingga 10 tahun ke depan, hasil dari pendidikan tersebut akan semakin terlihat,” Pungkasnya.
Ketekunan Endang dalam mengembangkan model pendidikan kebencanaan bagi anak-anak didik usia dini akhirnya berbuah manis. Ia mengaku bahwa materi bahan ajar yang telah ia kembangkan telah diverifikasi oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta sebagai bahan ajar yang memenuhi standarisasi materi kebencanaan. Hal ini karena di dalamnya memuat substansi yang sesuai dengan model PAUD holistik integratif. Sehingga, bahan ajar yang ia susun bisa dijadikan konten pelatihan Satuan Pendidikan Aman Bencana untuk PAUD di seluruh Indonesia.
Tahun 2019, terbitlah Permendikbud 33/2019 yang menjadi kurikulum merdeka. Salah satu substansi yang dimasukkan dalam kurikulum tersebut adalah kearifan lokal. “Kearifan lokal kini menjadi ruh dari kurikulum merdeka yang telah saya kembangkan dari tahun 2009 hingga 2021. Akhirnya, ide tersebut telah diakomodasi dalam kurikulum setelah bertahun-tahun lamanya,” imbuhnya.
Saat ini, Endang memantau pelaksanaan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) yang ketat di Jakarta, Surabaya, dan Paciran. Seiring berjalannya waktu, Endang pun mendapatkan kepercayaan untuk mengkampanyekan PAUD berkearifan lokal di berbagai wilayah di Indonesia. Ia membagikan pengetahuan dan pengalamannya ke guru-guru lainnya serta mengajarkan cara menganalisis kearifan lokal yang ada di masing-masing lokasi.
Saat sering melakukan perjalanan ke berbagai daerah, Endang kerap mendapatkan komentar yang kurang mengenakkan mengenai dirinya. Baik dari tetangga, saudara, maupun teman-teman pengajian, selalu mempertanyakan kesibukan Endang.
“Hati-hati lho ya kalau pergi terus, nanti suaminya main di luar, anak-anak juga siapa yang urus.” Namun, Endang tak ambil pusing dengan komentar tersebut. “Alhamdulillah keluarga saya sangat support. Sebagai buktinya, ketika saya ditugaskan ke Cianjur selama 7-10 hari, semuanya fine-fine saja,” tegasnya
Beberapa kali, komentar- komentar kurang mengenakkan itu dilontarkan di depan anggota keluarga inti Endang. Namun, Endang merasa bersyukur karena suaminya dan anak-anaknya mendukung penuh terhadap semua kegiatannya. Ketika suaminya dan anak-anaknya mendengar komentar yang tidak menyenangkan, mereka dengan cepat membela Endang. “Saya ingat salah satu kali anak saya berkata, ‘Saya bangga dengan Ibu saya dan saya juga ingin menjadi seperti ibu’, mendengar itu membuat saya senang” kata Endang.
Endang menirukan perkataan suaminya, ‘Jika itulah cara dia mencapai surga, maka saya akan berusaha ikhlas dan mendapatkannya,” itulah jawaban suamiku,“ kata Endang. Ia menambahkan bahwa ia, suaminya, dan ketiga anak mereka telah sepakat untuk mendukung satu sama lain dalam setiap kegiatan.
Bagi Endang, dukungan keluarga kepada seorang perempuan, terutama yang sudah menikah dan memiliki anak, mutlak diperlukan agar perempuan tersebut tetap bersemangat untuk berkiprah di masyarakat.
Setelah lebih dari satu dekade, Endang terus memperluas jaringannya. Pada tahun 2018, setelah terjadi gempa di Lombok, ia bergabung dengan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) dan ditempatkan di Divisi Pengurangan Risiko dan Kesiapsiagaan. Ia kerap mengikuti berbagai pelatihan kebencanaan sehingga pengetahuannya terkait bencana semakin luas.
“Saat saya belum bergabung dengan MDMC, saya mengira Surabaya aman dari tsunami. Ketika setelah bergabung dengan MDMC, pemahaman saya semakin bertambah bahwa Surabaya pernah mengalami gempa besar. Saya pun mengetahui bahwa Surabaya berada di antara dua sesar dan jika sesar itu bertemu, maka kejadian serupa ratusan tahun lalu akan terulang.ketemu maka kejadian sekian ratus tahun lalu akan terulang. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui tindakan apa yang bisa dilakukan untuk menghadapinya,” ujarnya.
Endang pun semakin tergerak untuk mengkampanyekan isu kebencanaan. Dalam prosesnya, bukan tak jarang ia terhambat oleh berbagai rintangan. Menurutnya, hal terbesar yang jadi halangan adalah soal perspektif kebencanaan yang belum terbangun di masyarakat.
“Masyarakat menganggap bencana itu sudah takdir, sehingga mereka sulit untuk belajar tentang antisipasi dan memastikan selamat dari bencana,” ujarnya. Ia masih ingat, saat awal menyampaikan tentang kebencanaan, ada beberapa orang yang defensif dan berkata, “Daerahku baik-baik aja kok, aman. Tinggal perbanyak ibadah aja.” ujarnya
Namun, Endang tak menyerah. Ia konsisten membagi pengetahuannya karena ia percaya semua orang harus memiliki pemahaman utuh tentang kebencanaan.
“Bencana itu pasti terjadi, tinggal bagaimana kita mencari tahu cara untuk mengurangi risikonya. Ayolah kita selamat bersama-sama,” tutup Endang.