Suraiya Kamaruzzaman, Menggugah Perempuan Aceh dari Hal Kecil

Nama Suraiya Kamaruzzaman cukup dikenal di Aceh sebagai aktivis perempuan. Dia adalah satu dari segelintir perempuan Aceh yang banyak mengadvokasi perempuan Aceh korban kekerasan akibat konflik, termasuk memberdayakan ekonomi perempuan di wilayah yang berbahaya dan belum banyak orang berani mengunjunginya. 

Suraiya mendirikan Flower Aceh pada 1989 di saat konflik Aceh sedang panas-panasnya. Saat itu, dia masih kuliah semester lima di jurusan kimia Fakultas Teknis Universitas Syiah Kuala. Flower Aceh bertujuan untuk mengumpulkan data perempuan korban kekerasan seksual, serta melakukan kampanye internasional untuk menghentikan kekerasan di Aceh. Kiprahnya itu membuat Flower Aceh menjadi organisasi perempuan pertama yang memiliki afiliasi dengan organisasi nasional. 

Selain berperan untuk pemberdayaan ekonomi perempuan Aceh, kesehatan reproduksi perempuan, dan kelompok minoritas, lembaga yang dinisiasi oleh Suraiya ini juga bertujuan untuk berjuang melindungi lingkungan. “Hal ini yang tidak banyak diketahui orang. Padahal kelahiran Flower Aceh juga memiliki tujuan yang melibatkan pelestarian lingkungan,” kata Suraiya. 

Dia mengakui bahwa kontribusinya dalam lingkungan terkadang terlupakan, mengingat dia sebagai aktivis perempuan yang berjuang untuk hak-hak perempuan Aceh. Padahal, kiprah perempuan kelahiran 1968 ini tidak bisa dianggap remeh, bahkan aktivitasnya semakin meningkat pada pertengahan tahun 1990-an ketika konflik di Aceh belum sepenuhnya mereda. 

Sebagai contoh, pada tahun 1995 dan 1996, Flower Aceh bekerja sama dengan Yadesa (konsorsium) dalam sebuah proyek untuk melindungi dan merevitalisasi hutan bakau. Kelompok ini melakukan studi dampak ekonomi dan ekologi, serta melakukan penanaman bakau di Desa Lampageu, Lamguron dan Desa Lambadeuk Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. 

“Menanamkan kesadaran akan pentingnya hutan bakau bukanlah tugas yang mudah. Apalagi dengan kebiasaan masyarakat menebang bakau guna membuat arang dan mendapatkan uang dengan mudah. Padahal, hutan bakau itu justru menjadi habitat bagi ikan dan hewan lainnya.” ujar Suraiya saat diwawancarai. 

Pencapaian tersebut tidak lantas membuat Suraiya puas. Dia semakin bersemangat untuk membuat banyak riset dan publikasi untuk lingkungan Aceh. Terutama setelah pihak bertikai di Aceh menandatangani perjanjian damai pada tahun 2005. Hal ini memberikan Suraiya keleluasaan dalam mengadvokasi isu lingkungan. 

Pada tahun 2016, perempuan lulusan Master bidang Hak Asasi Manusia di The University of Hong Kong 2003 ini didapuk sebagai Koordinator Program Shared Resource Joint Solutions (SRJS). Lembaga ini merupakan hasil kolaborasi antara International Union for Conservation of Nature (IUCN), WWF, dan Kementerian Luar Negeri Belanda.  

Sebagai perwakilan Balai Syura Ureung Inong Aceh (BUsIA), sebuah jaringan organisasi yang didirikan oleh Suraiya untuk meningkatkan martabat perempuan Aceh, program SRJS Aceh dilaksanakan di 8 Kabupaten/Kota di Aceh yaitu Tamiang, Langsa, Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah dan Banda Aceh. “Kawasan yang terlibat dalam program ini meliputi  sungai dan daerah lainnya. Saya memimpin konsorsium ini.” ungkap Suraiya. 

Data yang dihasilkan dari program SRJS ini menjadi titik awal yang penting untuk pembuatan modul pendidikan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dengan pendekatan gender dan inklusi. Suraiya dan rekan-rekannya menyelenggarakan pelatihan bagi aktivis lingkungan serta melakukan penguatan kepada kelompok perempuan dalam komunitas untuk mengembangkan usaha ekonomi berbasis Sumber Daya Alam (SDA) non-kayu.  

Tidak hanya itu, kelompok tersebut juga mengembangkan alat untuk mengukur implementasi program pengelolaan Sumber Daya Alam berbasis gender dan inklusi, serta melakukan advokasi kebijakan (Peraturan Gubernur) mengenai pelaksanaan pembangunan lingkungan hidup yang responsif gender. “Ini merupakan peraturan gubernur yang pertama di Indonesia yang secara khusus mengatur pelaksanaan pembangunan lingkungan hidup yang responsif gender. Dan Aceh memiliki peraturan tersebut.” ujar Suraiya. 

Selain itu, Suraiya juga aktif dalam melakukan riset terkait isu perubahan iklim. Dia menjabat sebagai Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Unsyiah (Aceh Climate Change Initiative/ACCI), yang bertanggungjawab dalam melakukan riset, publikasi, serta menyelenggarakan seminar, dan diskusi berkala terkait isu-isu tersebut. Suraiya mengakui bahwa meningkatkan kesadaran akan lingkungan merupakan tantangan yang cukup besar. Dia juga menekankan bahwa perempuan di Aceh pada dasarnya terbuka terhadap perubahan selama dapat dijelaskan dengan logika dan pengetahuan baru. 

Dengan Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSuIA), Suraiya banyak melakukan penyuluhan bersama dengan ibu-ibu PKK di Provinsi Aceh. Dia mencoba tidak terlalu ‘biasa’ dalam menyampaikan informasi tersebut. “Misalnya, saya menyampaikan tentang emisi karbon dengan memberikan contoh yang mudah dan dapat diterima.” ujar Suraiya. 

Suraiya melakukan perbandingan terkait jumlah emisi karbon yang dihasilkan ketikan orang mengonsumsi buah-buahan lokal dibandingkan dengan buah-buahan impor. “Cara ini bisa diterima dan masyarakat memahami bahwa jika dengan menanam sendiri atau mengonsumsi pisang yang dijual di warung, lebih baik daripada membeli buah impor yang menyebabkan emisi karbon tinggi,” ungkap Suraiya, yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan pada Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di Aceh. 

Saat ini, Suraiya terus berjuang untuk mengubah praktik ekonomi di Aceh agar jauh dari kegiatan pembalakan liar. Dia sangat prihatin dengan makin maraknya pembalakan liar di Aceh. Ini menimbulkan kekhawatiran hutan-hutan di Aceh lama-lama akan habis, padahal Aceh memiliki empat satwa liar yang dilindungi di hutan tersebut, yaitu Badak, harimau, Orang Utan dan gajah. 

“Hanya di hutan Aceh terdapat empat satwa penting itu. Meskipun hutan di Aceh ini terlihat masih luas dan asri, kenyataannya banyak yang sudah gundul. Jadi banyak bencana alam yang terjadi di Aceh.” ujar Suraiya. 

Selain itu lemahnya penegakan hukum juga jadi salah satu faktor yang menyebabkan langkanya hutan di Aceh. Alih-alih berkeluh kesah, Suraiya dan Balai Syura berupaya untuk memperkuat peran perempuan di sekitar hutan. Sebagai contoh, mereka memberikan pelatihan kepada perempuan di lima desa kawasan hutan bakau untuk menghasilkan sirup dan memanen ikan bakau sebagai alternatif mata pencaharian.  

“Saya berusaha memberikan perspektif berbeda, bahwa masyarakat masih dapat mengambil manfaat ekonomi dari hutan tanpa harus menebangnya. Justru hutan itu adalah harta tak ternilai dan mereka bisa mencapai kemakmuran melalui keberadaan melalui keberadaan hutan tersebut. Hal-hal kecil dapat menjadi hal yang besar.” ungkap Suraiya.

Masalah patriarki juga menjadi salah satu tantangan yang dihadapi Suraiya dalam upayanya meningkatkan partisipasi perempuan Aceh dalam isu lingkungan. Menurutnya, masih banyak yang berpendapat kalau isu lingkungan itu adalah hal yang maskulin dan hanya berhubungan dengan laki-laki. Akibatnya, perempuan jarang terlibat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan. 

“Padahal sejak dulu, perempuan Aceh itu jauh lebih maju. Mereka juga punya perspektif yang tidak dimiliki oleh laki-laki dalam menghadapi perubahan iklim, kerusakan lingkungan dan tentu saja konflik dengan satwa liar.” kata Suraiya. 

Dia mencontohkan di Aceh yang menjaga hutan Aceh bukan hanya Pang Uteung atau laki-laki, melainkan juga Puan Uteun atau perempuan. Dalam menghadapi pembalak liar, Puan Uteun jauh lebih pintar dan seharusnya kelebihan ini diapresiasi. “Perempuan memiliki kebijaksanaan yang lebih tinggi, dan pendekatan mereka  terhadap pelaku perusak lingkungan juga lebih soft namun efektif.” kata Suraiya sambil tertawa.  

Suraiya juga senantiasa mengingatkan perempuan Aceh bahwa isu lingkungan adalah isu yang berbahaya, dan setiap langkah yang diambil harus dipertimbangkan dengan matang. Namun, terkadang perempuan di pedesaan lebih militan dari yang ia duga. “Saya pernah memberikan training kepada perempuan di Aceh Tengah. Ibu-ibu di kawasan tersebut sangat marah dengan truk pasir. Mereka mengatakan akan menggelar demonstrasi. Saya mengingatkan mereka bahwa sebelum kita bergerak, kita harus mempersiapkan semuanya, termasuk asesmen dan advokasi. Namun, mereka justru melakukan tindakan sendiri.” kenang Suraiya. 

Malam harinya, Suraiya menerima telepon dan mendapatkan informasi bahwa semua ibu di tempat itu telah berhasil menghentikan truk pasir di jalanan.  “Jujur, saya sangat khawatir mereka akan menghadapi masalah,” ujar Suraiya. “Namun, ini membuktikan bahwa perempuan, begitu mereka bergerak, dapat menjadi lebih militan daripada laki-laki.” tangkasnya.

Dalam menghadapi kondisi alam Aceh yang ditengarai mulai rusak akibat pembalakan hutan, Suraiya berharap agar anak-anak muda Aceh menjadi lebih bijaksana dalam masalah lingkungan. Suraiya yakin bahwa generasi muda justru memiliki potensi untuk mengembalikan upaya pelestarian hutan di Aceh, sementara prinsip “potong pohon” umumnya masih melekat pada pikiran orang yang lebih tua. 

“Kita melihat banyak orang muda Aceh yang kini terkenal dan mereka sangat peduli terhadap lingkungan. Bahkan beberapa di antaranya telah mendapatkan pengakuan dalam majalah TIME. Ini menjadi harapan yang menjanjikan bahwa kondisi alam Aceh dapat diperbaiki dengan melibatkan generasi muda.” katanya. 

Saat ini, Suraiya memiliki tujuan untuk meningkatkan programnya dengan menambah konten yang berkaitan dengan kepemimpinan dan perani perempuan dalam masyarakat.  berkat dedikasi dan perjuangannya, Suraiya telah dianugerahi beberapa penghargaan, antara lain Penghargaan Perempuan Pegiat Perdamaian oleh Menteri Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak pada April 2017, serta menjadi satu dari 72 Ikon Prestasi Indonesia oleh Unit Kerja Presiden PIP pada Agustus 2017. Selain itu, dia juga menerima penghargaan dari IKAWAPI dalam kategori Pegiat Sosial pada tahun 2018. 

Bagi Suraiya, dia siap melakukan segala yang diperlukan untuk lingkungan. “Saya bahkan lebih banyak bekerja sebagai relawan dan memegang prinsip bahwa perubahan terhadap isu lingkungan dapat dimulai dari hal-hal kecil sekalipun.” ujarnya.