![](https://wlhl.lbhapik.or.id/wp-content/uploads/2023/11/Kegiatan-di-Rumah-Daur-Ulang-Sampah-1-1024x680.jpeg)
Sampah plastik seringkali terdampar di bibir pantai dan laut Pulau Pramuka. Pulau Pramuka yang terletak di Teluk Jakarta, merupakan ibu kota kabupaten yang berada dalam gugusan Kepulauan Seribu dengan luas sekitar 16,73 hektar dan dihuni oleh sekitar 2000-an penduduk dari berbagai etnis yang mendiami, terutama etnis Betawi, Bugis, Banten, Madura dan Minangkabau.
Di Pulau ini, lahir sebuah gagasan yang inovatif, kreatif dan ramah lingkungan. Perempuan yang menjadi magnet atas kemandirian ekonomi hijau itu bernama Mahariah Sandre, 54 tahun, biasa disapa dengan panggilan “Mamah” atau “Bu Haji”. Mahariah membentengi ancaman kerusakan ekologi di Pulau Pramuka dan sekitarnya dengan menanam ribuan mangrove, mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak (BBM) hingga mengolahnya menjadi beragam kerajinan tangan.
Gugusan terumbu karang yang membentang di sepanjang Pulau Pramuka dan sekitarnya, bahkan masuk dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu, merupakan tempat konservasi alam liar yang harus dilindungi. Mahariah tangkas merespon situasi itu dengan melakukan transplantasi terumbu karang bersama warga kampung. Transplantasi terumbu karang sangat berguna untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang yang rusak dan mempercepat regenerasi terumbu karang.
Mahariah berupaya memperbaiki biota laut terumbu karang, demi masa depan mata rantai kehidupan laut. Populasi ikan akan bertambah jika terumbu karangnya lestari. “Kegiatan konservasi selama ini berjalan dengan baik di Pulau Pramuka dan pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu,“ ujar Mahariah, yang juga pendiri ‘Rumah Literasi Hijau’. Gagasan melestarikan lingkungan yang hijau, diharapkan dapat diadopsi oleh pulau-pulau lain yang memiliki masalah yang sama.
Mahariah juga sigap menjawab keluhan warga tentang banyaknya sampah plastik yang berserakan di bibir pantai dan laut Pulau Pramuka. Tumpukan sampah plastik menjadi persoalan yang mengganggu ekosistem dan lingkungan. Itulah sebabnya Mahariah menyusun strategi “Pulauku Nol Sampah” untuk memberikan penyelesaian atas persoalan sampah plastik. “Tidak cukup hanya membersihkan sampah di pantai dan laut,“ ujar Mahariah. Strategi tersebut dilakukan Mahariah secara bertahap, kemudian dia melakukan eksperimen secara konsisten dan terukur.
Sejak tahun 2006, Mahariah terus berjuang memerangi sampah plastik. Menurutnya, sampah plastik di Pulau Pramuka dan sekitarnya dapat dikelola dengan baik meskipun kompleksitasnya membutuhkan penanganan yang berbeda-beda. Dengan adanya tiga mesin ‘perolisis’ plastik yang dimiliki oleh Rumah Literasi Hijau, mereka dapat mengolah sampah plastik menjadi energi, terutama bahan bakar minyak. Mesin Perolisis ini bekerja dengan melakukan proses dekomposisi kimia menggunakan pemanasan tanpa oksigen dan prosesnya sangat mudah untuk dioperasikan secara manual.
Selain itu, para nelayan juga memainkan peran penting dengan menyumbangkan sampah plastik yang terkumpul, sekaligus membantu menjaga laut dan ikan-ikan yang ada di dalamnya. Sebagai hasilnya, para nelayan juga mendapat manfaat, karena mereka dapat menggunakan bahan bakar minyak yang dihasilkan dari sampah plastik untuk melaut sehingga menghemat uang mereka.
Ancaman rentannya lingkungan di Pulau Pramuka sangat nyata, terutama akibat pencemaran laut yang berasal dari limbah domestik, pelayaran, sampah kiriman dari daratan Jakarta dan faktor lainnya. Situasi semakin diperparah oleh bencana abrasi dan banjir rob yang semakin sering terjadi. “Ini juga dipengaruhi oleh perubahan iklim serta beberapa faktor seperti pembangunan dan penggunaan sumber daya alam yang berlebihan, seperti penebangan pohon untuk kebutuhan kapal, kayu bakar dan sebagainya, “ujar Mahariah.
Rapuhnya kondisi lingkungan di Pulau Pramuka mendorong hati Mahariah untuk terlibat dalam proses pemberdayaan perempuan marginal dan kelompok rentan. Para perempuan cenderung tidak memiliki akses terhadap informasi dan komunikasi yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kebijakan pemerintah. Menurut Mahariah, peran perempuan kurang dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan pemberdayaan yang diadakan oleh PKK. Oleh karena itu, Mahariah mengajak kelompok perempuan dan remaja untuk melakukan kegiatan daur ulang sampah plastik serta melakukan aksi bersih-bersih sampah plastik di laut dan pantai setiap akhir pekan.
Selain mendaur ulang sampah plastik menjadi kerajinan dan sampah organik menjadi pupuk kompos, Mahariah juga melibatkan kelompok perempuan dalam menanam mangrove, membuat lubang biopori, hingga berkebun di lahan kosong. “Kasus-kasus ketidakadilan gender lebih banyak terjadi karena kurangnya keterlibatan perempuan dalam kegiatan perencanaan,“ ungkapnya. Selama ini, cara pandang atau perspektif pemerintah lokal berbeda dengan kelompok perempuan, seperti dalam pengolahan sampah yang selalu mengedepankan peran petugas, tanpa melibatkan peran aktif perempuan.
Padahal, perempuan dapat berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan bahkan mempengaruhi kebijakan yang berdampak baik bagi konservasi ekologi, lingkungan dan masyarakat. namun, minimnya peran perempuan dalam hal ini telah menyebabkan tata kelola sampah yang mandiri masih belum terpenuhi.
Menurut Mahariah, komunikasi merupakan kunci utama untuk melibatkan peran aktif perempuan. Kepulauan Seribu, terutama Pulau Pramuka dan sekitarnya, merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang secara geografis dan demografis memungkinkan terjadinya interaksi sosial yang lebih kuat antarwarga karena saling mengenal satu sama lain. “Mengubah budaya tidak bisa dengan pendekatan tunggal, simpul-simpul sosial harus dibangun di masyarakat melalui pendidikan, seni, agama dan hal lainnya,“ ujarnya.
Mahariah berharap bahwa perubahan iklim menjadi isu penting yang harus diperhatikan, termasuk juga pengolahan sampah yang sistematis, perubahan pola perilaku masyarakat yang sadar lingkungan, dan sanitasi yang bersih setelah konsep ekowisata diperkenalkan di masyarakat Pulau Pramuka.
Apakah Pembangunan Berdampak Sosial Ekonomi?
Pembangunan fisik di Pulau Pramuka tidak dapat dihindari karena pertimbangan geografisnya di tengah-tengah Kepulauan Seribu. Pulau Pramuka memiliki nilai strategis untuk pengembangan wilayah pulau, karenanya pulau ini menjadi ibu kota kabupaten. Melalui pembangunan ruang publik dan fasilitas yang terintegrasi, serta konsep tata kota yang baik, Pulau Pramuka mengalami perkembangan yang lebih maju dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya.
Meskipun Pulau Pramuka mengalami perkembangan pesat dalam hal akses informasi dan peningkatan pariwisata domestik, namun hal tersebut juga mengancam kerusakan ekosistem kawasan konservasi Pulau Pramuka. Pemerintah lokal cenderung membangun prasarana secara instant, sehingga dampak lingkungannya sering diabaikan. Seperti saat Mahariah menanam mangrove, pemerintah justru membangun breakwater di luar. Sehingga terlihat terjadi tumpang tindih perencanaan pembangunan kawasan. “Ngapain capek-capek menanam mangrove, kalau ada tanggul?” kata Mahariah.
Oleh karena itu, perencanaan pembangunan perlu melibatkan berbagai komunitas lokal masyarakat Pulau Pramuka, terutama melibatkan peran aktif kelompok perempuan agar dapat berpartisipasi dalam urun rembug, dan mengidentifikasi apa saja yang mereka butuhkan.
Sebagai seorang guru madrasah, Mahariah memiliki tanggung jawab moral terhadap lingkungan dan agamanya. Meskipun pada awal perjuangannya, Mahariah mengalami banyak kendala dan bahkan mengalami kegagalan karena seringkali ditolak oleh pihak lain, namun, ia tetap tekun dalam mengedukasi masyarakat Pulau Pramuka. Mahariah memiliki kepedulian yang tinggi dalam mewujudkan lingkungan hijau untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selama hampir satu tahun, ia mempelajari model desa konservasi dan tanpa lelah melakukan penanaman mangrove untuk mengembalikan hutan mangrove di kawasan Pulau Pramuka dan sekitarnya menjadi lestari dan hijau kembali.
Dalam menghijaukan kembali hutan mangrove, Mahariah menggunakan metode rumpun berjarak, di mana satu rumpun akan ditanam sekitar 550 batang. Hal ini dilakukan untuk menghindari agar mangrove yang sudah ditanam tidak terseret ombak. Berkat kepedulian Mahariah terhadap lingkungan, ia telah mendapatkan penghargaan Kalpataru tingkat provinsi tahun 2016, bahkan mendapatkan penghargaan Kalpataru tingkat nasional pada 2017. Pulau Pramuka juga mendapatkan anugerah Kampung Iklim dari Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2018.
Berkat perjuangan Mahariah, produktivitas ibu-ibu rumah tangga di Pulau Pramuka dalam mengolah dan mendaur ulang sampah dapat menghasilkan nilai ekonomi. Tidak mudah mengajak para ibu terlibat aktif dalam memerangi sampah dan mengadopsi perilaku dan perspektif yang ramah lingkungan. oleh karena itu, Mahariah melakukan edukasi lingkungan secara berkelanjutan yang memiliki dampak ekonomi sekaligus.
“Saya ingin tinggal di suatu pulau di mana saya merasa nyaman. Setiap orang berinteraksi sosial dengan baik dan harmonis, juga berinteraksi dengan alam,“ sergah Mahariah. Baginya, mengendalikan sampah berarti mengantisipasi ancaman kerusakan lingkungan yang lebih besar.
Lahan-lahan berpasir di Pulau Pramuka memaksa Mahariah untuk berfikir kreatif. Dia mengajak warga setempat untuk mendaur ulang kotoran kelinci dan sampah organik menjadi kompos, yang dapat digunakan oleh para ibu secara mandiri untuk menyuburkan tanaman sayuran di dalam kantong plastik polybag. Dengan demikian, warga dapat menikmati hasil panen sayuran segar dan organik tanpa harus membeli cabai atau sayuran dari luar pulau, sehingga dapat menghemat biaya kebutuhan rumah tangga.
Kemandirian ekonomi terus digaungkan oleh Mahariah agar para perempuan dapat mandiri secara ekonomi. Itu sebabnya pembangunan fisik yang diharapkan Mahariah, harus diimbangi dengan sosialisasi dan edukasi terkait alam dan lingkungan. Sehingga, setiap pembangunan fisik di Pulau Pramuka memerlukan kajian dampak maupun analisis lingkungan. Tanpa melibatkan peran masyarakat, terutama kelompok perempuan, tentu akan terjadi ketimpangan bahkan konflik di masyarakat.
Sebagai penggiat lingkungan, Mahariah memahami kondisi lingkungan dan pulau tempatnya tinggal yang hanya memiliki luas 16,73 hektar. Isu pemanasan global menjadi dorongan bagi Mahariah untuk memperingatkan dan mengedukasi warga agar melestarikan alam dan tidak merusaknya. Dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global sudah terlihat nyata bahkan telah menenggelamkan pulau-pulau kecil di berbagai negara. Mahariah dengan penuh kesadaran mengabdikan dirinya untuk memperbaiki ekologi, ekosistem dan mata rantai kehidupan laut yang terancam rusak.
Meski perjuangan itu membutuhkan waktu bertahun-tahun dan bahkan menguras sumber daya keuangan Mahariah secara pribadi, alam tidak pernah mengingkari janjinya. Ketika perempuan seperti Mahariah berani menghijaukan lingkungan di Pulau Pramuka dan sekitarnya, hasilnya sangat terlihat. Hutan mangrove kembali hijau, ikan-ikan kembali berkumpul di sekitar terumbu karang yang terus pulih. Lanskap dan vegetasi alam Pulau Pramuka yang indah terus mengalami perubahan secara alami.
Bahkan para nelayan Pulau Pramuka dapat melaut dengan biaya yang lebih hemat, karena menggunakan BBM yang dihasilkan dari daur ulang sampah plastik. Begitu juga dengan para ibu yang mendapatkan manfaat dari gerakan kemandirian ekonomi hijau yang digagas oleh Mahariah. Meskipun Pulau Pramuka rentan, tetapi dilindungi oleh kepedulian kolektif warganya dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Mahariah berharap kesadaran lingkungan tidak hanya tumbuh di pulau, tetapi juga di daratan Jakarta yang menjadi pusat pulau-pulau di sekitarnya. Jika pembangunan fisik di daratan Jakarta mengabaikan dampak dan analisis lingkungan, ditambah pencemaran udara, pembuangan limbah beracun, dan sampah plastik dari daratan Jakarta menuju sungai-sungai hingga berakhir di laut, maka penduduk Kepulauan Seribu akan menderita dampak buruk atas ketidakseimbangan itu. Mahariah merupakan penggerak yang berjiwa besar dengan tenaga dan pikirannya, terus berjuang tanpa henti untuk menyeimbangkan ketimpangan yang dilakukan oleh keegoisan manusia lainnya.
![WhatsApp Image 2023-05-12 at 12.38.44 (2) (1) WhatsApp Image 2023-05-12 at 12.38.44 (2) (1)](https://wlhl.lbhapik.or.id/wp-content/uploads/elementor/thumbs/WhatsApp-Image-2023-05-12-at-12.38.44-2-1-qkd60x4u28dvbkfophhh6c1lcbaz1ex579244ip6m0.jpeg)
![](https://wlhl.lbhapik.or.id/wp-content/uploads/2023/11/Kegiatan-di-Rumah-Daur-Ulang-Sampah-2-1024x680.jpeg)
![Kegiatan_ olah sampah, mengenal satwa pulau, dll Kegiatan_ olah sampah, mengenal satwa pulau, dll](https://wlhl.lbhapik.or.id/wp-content/uploads/elementor/thumbs/Kegiatan_-olah-sampah-mengenal-satwa-pulau-dll-qkd65ji9nwpmejq0pzefxo26hiixvu9mu4j22hui0o.jpeg)
![WhatsApp Image 2023-05-12 at 12.38.43 (1) (1) WhatsApp Image 2023-05-12 at 12.38.43 (1) (1)](https://wlhl.lbhapik.or.id/wp-content/uploads/elementor/thumbs/WhatsApp-Image-2023-05-12-at-12.38.43-1-1-qkd661d79re2j502tp4cr1jxru2wy38j8kxa6r40qg.jpeg)