Nissa Wargadipura, Melabuhkan Diri Pada Ekosistem Agroekologi

Sejak abad ke 19, Garut telah dijuluki sebagai Zwitserland van Java karena bentang alam dan vegetasi alamnya begitu elok. Secara geografis, kabupaten ini dikelilingi oleh pegunungan, kecuali di sebagian pantai selatannya yang berupa dataran rendah yang sempit. Kawasan ini  memiliki iklim tropis basah atau humid tropical climate. Tidak heran jika Garut menjadi kawasan yang berhawa sejuk.

Di balik keelokan Garut, secara morfologi wilayah ini sangat rawan bencana alam, mulai dari aktivitas vulkanik (erupsi) gunung berapi, gempa bumi, longsor dan lainnya. Namun, dalam kondisi rentan alam tersebut, justru lahir gagasan dari perempuan yang luar biasa. Ia adalah Nissa Saadah Wargadipura atau yang biasa disapa ‘Umi Nissa’, yang berusia 51 tahun dan merupakan salah satu penggagas Pesantren Ekologi Ath Thariq di Garut, Jawa Barat.

Nissa pernah belajar di The Navdanya Biodiversity Conservation Farm, Earth University, Dehradun, Uttarakhand, India. Ia terpilih sebagai penerima beasiswa untuk mengikuti Agroecology and Organic Food System Course yang dipimpin oleh Dr. Vandana Shiva, seorang cendekiawan, aktivis lingkungan, advokat kedaulatan pangan, penulis ekofeminis dan anti-globalisasi terkemuka asal India.

Nissa memfokuskan diri pada pendidikan karakter dan lingkungan, khususnya agroekologi dalam ketahanan pangan. Pesantren Ekologi Ath Thariq yang dipimpinnya, mendasarkan pertanian pada sistem organik yang berkelanjutan dan menolak sistem monokultur. “Bagi saya, bencana alam itu bukan hanya persoalan longsor, gempa bumi atau perubahan iklim saja. Namun juga, bagaimana kemampuan tanah untuk menyerap air yang merupakan dampak dari revolusi hijau yang sistemik. Dampak tersebut dapat menyebabkan perempuan tidak mampu melahirkan secara normal dan anak-anak tumbuh dengan stunting atau kurang gizi akut, karena semua pangan tercemar oleh pupuk kimia dan pestisida,“ ungkap Nissa.

Nissa merasa khawatir bukan tanpa sebab. Mayoritas lahan pertanian di Garut mengalami kerusakan dan terkontaminasi karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan. Akibatnya, keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati terganggu. Nissa memutuskan untuk mengubah pola tanam dengan cara yang lebih organik dan ramah lingkungan. Pesantren Ekologi Ath Thariq memiliki lahan sawah, kebun, dan kolam ikan yang dikelola secara mandiri oleh Nissa dan murid-murid pesantren. Nissa mengajarkan cara berkebun dengan sistem agroekologi yang menggunakan polikultur biodiversity. Artinya, semua tanaman pangan di pesantren ditanam tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Kemudian, para murid mengolah sayur dari hasil tanaman yang mereka tanam sendiri.

Menurut Nissa, pertanian berbasis ekologi ini menjadi alasan logis untuk terjalinnya interaksi manusia dengan semesta alam, termasuk mikroba, binatang dan keanekaragaman hayati lainnya. Manusia memiliki keterikatan dan satu kesatuan dengan habitat lain yang tidak terpisahkan, baik dalam hubungan dengan semesta maupun sistem kehidupan binatang.

“Ciri-ciri tanah yang bagus dan sehat itu diimbangi oleh animals system, ada kunang-kunang, ular, tupai dan burung,“ sergahnya. Nissa membiarkan kebunnya menjadi ruang hidup bagi habitat ular, karena ular merupakan predator pemangsa tikus. Proses animals system ini juga memunculkan burung hantu. Sayangnya kepadatan lingkungan membuat burung hantu tidak singgah di kampungnya di desa Sukagalih, Tarogong Kidul, Garut.

Nissa tanpa lelah memulihkan ekosistem sehingga mata rantai pangan turut pulih. Agroekologi menjadi ideologi yang dipegang Nissa dalam mendidik murid-muridnya di Pesantren Ekologi Ath Thariq. “Anak-anak sendiri yang menanam ganyong, kacang panjang, ubi dan lainnya. Lalu mengolahnya di dapur dan makan bersama. Dengan agroekologi, kita akan memperoleh ilmu pertanian yang berkelanjutan,  gerakan sosial, bahkan management knowledge, “ imbuh Nissa.

Nissa juga melakukan kampanye melalui media sosial untuk menyebarkan gagasan agroekologi beserta praktik pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan. Dia adalah inisiator ketahanan pangan, agroekologi, terminal benih dan lain-lainnya. Nisa menentang revolusi hijau beserta jebakannya yang menjadi akar dari kerusakan alam. Tanah menjadi kering dan gersang sehingga tidak mampu menyerap air, hutan tropis dibabat dan mengalami alih fungsi lahan menjadi sawah dan perkebunan dengan sistem monokultur. Contohnya adalah kegagalan proyek food estate di Kalimantan Selatan. 

Sistem pertanian monokultur tidak hanya merusak lahan pertanian, tetapi juga menjerat petani dengan biaya produksi yang tinggi untuk membeli pupuk kimia, pestisida, benih hibrida dan lain-lain. Dampaknya adalah para perempuan dan anak-anak yang menjadi korban. Perempuan terpaksa hidup dalam jebakan kemiskinan dan ketidakberdayaan serta seringkali terlilit utang.

Efek revolusi hijau ini seringkali tidak disadari oleh masyarakat, termasuk efek konsumsi dari pangan yang berasal dari benih hibrida dan transgenik. Akibatnya, beragam jenis penyakit baru muncul, karena merebaknya makanan transgenik, baik dari jagung, kedelai dan lain-lainnya. Dengan adanya keragaman pangan yang dihasilkan dari kebun keluarga, keluarga tidak akan mengalami malnutrisi dan tidak akan terbebani oleh biaya produksi yang tinggi, terlebih lagi hingga terpaksa berutang pada pemilik modal.

Pesantren Ekologi Ath Thariq adalah sebuah laboratorium ekologi yang membuka diri untuk mengajarkan agroekologi berbasis pertanian berkelanjutan. “Banyak orang yang belajar disini jangka pendek, selama tiga bulan,“ ujar pencetus Serikat Petani Pasundan ini. 

Seperti pesantren lainnya, Pesantren Ekologi Ath Thariq juga  mempelajari dan memperdalam kajian agama Islam yang diimbagi dengan kurikulum pendidikan lingkungan. Santri-santri atau murid-murid juga belajar mengolah pertanian dan perkebunan dengan menggunakan pollinated organic seed  atau pembenihan benih secara organik. Mereka juga menggunakan pupuk kompos yang terbuat dari bahan organik dan limbah kotoran ternak.

Polikultur biodiversity sangat penting sebagai bekal murid-murid di pesantren nantinya. Keragaman pangan tidak hanya tidak hanya terbatas pada nasi (beras), melainkan juga mencakup berbagai jenis pangan lain seperti ubi, ganyong, singkong, keladi, sorgum, sagu dan lainnya. Variasi pangan ini dapat mengganti karbohidrat yang bersumber dari beras. Gerakan sosial-ekologi yang dilakukan Nissa ini seperti antitesis terhadap langkah pemerintah yang mengalihfungsikan hutan tropis sebagai penyangga oksigen, justru dijadikan food estate yang gagal.

Langkah pemerintah ini menjadi bencana ekologi yang mengerikan, karena ekosistem dan habitat yang menaungi hutan tropis menjadi hilang. Sebagai contoh, Perhutani Garut tidak mampu memulihkan ekosistem hutan yang telah rusak akibat eksploitasi yang berlebihan. Perhutani justru menyewakan lahan hutan yang telah dibabat kepada pemilik modal, sementara masyarakat Garut hanya menjadi buruh tani yang seringkali berada dalam posisi yang lemah dengan upah yang rendah. “Hampir semua lahan pertanian di Garut menggunakan sistem hortikultura dan pestisida. Situasi ini akan semakin memperparah kebencanaan, ditambah dengan biaya produksi yang tinggi dan sangat tidak menguntungkan bagi petani, buruh tani, perempuan dan anak-anak yang menjadi korban,“ ungkap Nissa.

Perempuan Menjadi Korban Ketidakadilan Pangan

Pada tanggal 8 Maret 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tema “Gender Equality Today for a Sustainable Tommorow” untuk mendorong aksi pelestarian lingkungan oleh dan untuk  perempuan. Hal ini disebabkan karena para perempuan dan anak-anak termasuk kelompok rentan yang paling terdampak oleh krisis iklim. Nissa menyatakan bahwa PBB juga mendorong pertanian keluarga karena sangat bermanfaat untuk menyelamatkan keluarga terutama dalam pemenuhan gizi keluarga.

Banyak perempuan yang tidak memiliki akses terhadap pangan sehat dan sumber daya alam. Pertanian dengan pendekatan berbasis gender, yang melibatkan perempuan dalam proses pembuatan bibit, menanam keanekaragaman tanaman pangan, memelihara, memanen hingga mengolahnya menjadi makanan sehat, sangat penting sebagai benteng bagi keluarga dari ancaman berbagai penyakit di era modern ini. Selama Pandemi Covid-19 tahun lalu, Pesantren Ekologi Ath Thariq tetap bertahan di tengah ancaman virus yang mengganas. hal ini karena para muridnya mengelola sawah, kebun dan kolam ikan sendiri. “Bayangkan hampir satu setengah tahun tidak bisa keluar rumah, tetapi tidak ada yang jatuh sakit karena Covid 19,“ ujar Nissa.

Bagi Nissa, semua elemen hidup saling terhubung, baik itu kehidupan, lingkungan maupun agama. Jika air bersih terpapar racun, maka air itu tidak suci (najis). Dalam ajaran agama Islam yang dianutnya, air harus dipelihara dengan baik agar tidak tercemar limbah beracun dan tidak mengalami kekeringan. Oleh karena itu, sumber air bersih harus dijaga ekosistemnya. Penggundulan hutan yang massif terjadi di berbagai wilayah, termasuk di Garut yang merupakan penyangga Jawa Barat, padahal hutan merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati dan ruang hidup bagi beragam habitat yang ditopang olehnya.

Jika tidak dilakukan langkah pemulihan ekologi, akan berdampak buruk terutama dalam bentuk bencana alam. Oleh karena itu, pendidikan lingkungan bagi perempuan dan anak-anak sangat penting karena mereka merupakan benteng pertahanan di masa depan. Bahkan dalam kitab suci Al Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari keselarasan dan kelestarian bumi. Perempuan yang menanam bibit dan menghasilkan benih, karena tanpa perempuan, tidak akan ada benih berkualitas yang dihasilkan.

Itulah sebabnya penting bagi perempuan untuk memiliki perspektif lingkungan yang baik.  Dengan peran aktif mereka, lingkungan dapat diselamatkan melalui sistem pertanian organik yang berkelanjutan, daur ulang sampah yang bermanfaat, dan pemeliharaan mata rantai pangan yang beranekaragam. Perempuan juga memegang peran penting dalam melahirkan generasi penerus di masa depan, seperti melahirkan anak-anak, mendidik mereka, termasuk mengolah makanan yang sehat.

Nissa terus bergerak maju dan memberikan pendidikan kepada murid-muridnya di Pesantren Ekologi Ath Thariq, para perempuan di sekitar rumahnya, serta masyarakat secara luas melalui jaringan yang lebih besar. Gerakan ekofeminis yang dilakukannya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran perempuan agar memiliki perspektif lingkungan yang baik. Nissa juga menginisiasi pendirian Pamong Benih Warisan dan membagikan benih warisan yang dimilikinya ke seluruh penjuru Nusantara bersama dengan Sekar Kawung, EMPU, Gita Pertiwi, dan Sekolah Pagesangan. Dengan agroekologi, Nissa telah membuktikan kemampuannya untuk menghadapi pandemi Covid-19 dan perubahan iklim yang sedang terjadi.
Hasil dari pertanian organik yang berkelanjutan dengan sistem agroekologi polikultur biodiversity tanaman pangan bebas dari pupuk kimia dan pestisida, menjadi immune booster tersendiri bagi para murid. Mereka mengolah sendiri makanan sehat di dapur, tidak mengkonsumsi makanan instan atau fast food yang diproduksi oleh industri makanan yang tidak sehat. Selain itu, Nissa juga membantu membebaskan perempuan dari jerat kemiskinan dengan memanfaatkan kebun keluarga yang organik sebagai sumber keamanan gizi bagi keluarga, khususnya untuk menjaga kesehatan anak-anak. Dengan posisi yang setara, perempuan dapat menjadi penggerak ekologi di lingkungannya masing-masing, sebagaimana motto Pesantren Ekologi Ath Thariq yaitu ‘Peduli Bumi, Peduli Sesama, Peduli Masa Depan!’.