Masnuah, Perempuan Penyelamat Desa yang Tenggelam

Ini merupakan pertemuan kami yang kedua kalinya. Walau Masnuah (48 tahun) tidak ingat dengan jelas kapan pertama kali kami bertemu, saya selalu mengingatnya. 

Sebagai jurnalis yang sering meliput isu-isu perempuan, saya menghadiri sebuah acara yang diselenggarakan aktivis perempuan Saparinah Sadli pada tahun 2018. Pada tanggal 24 Agustus 2018, Masnuah menerima penghargaan Saparinah Sadli Award di Jakarta , dan itulah saat pertama kali kami bertemu.

Suaranya masih merdu dan hangat, Masnuah baru saja pulang dari pertemuan dengan tim LBH APIK di Demak, kota tempatnya tinggal. Pertemuan ini dilakukan pada hari Minggu dari siang hingga sore. Kami ngobrol di telepon selama 2 jam. 

Suaranya hampir berbeda ketika ia menceritakan sawah-sawah dan rumah penduduk yang tenggelam di Demak, tempat tinggalnya. Ternyata, ramalan mengenai Jakarta yang akan tenggelam di tahun 2040, telah dialami oleh warga masyarakat di Demak. Ia beberapa kali menangis terisak ketika menceritakan semua ini.

“Jika Jakarta disebut-sebut akan tenggelam pada tahun 2040, maka desa-desa di Demak sudah tenggelam.” ujarnya

Demak adalah kota yang sering tenggelam akibat banjir rob yang terjadi secara berulang-ulang. Situasi ini sangat memprihatinkan, terutama bagi warga yang bekerja sebagai nelayan seperti Masnuah dan teman-temannya di sana. Masnuah pernah menyampaikan protesnya kepada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang memainkan peran penting dalam perencanaan pembangunan di kawasan pesisir Semarang – Demak yang terendam. Tenggelamnya desa-desa ini diperburuk dengan pembangunan kawasan industri dan jalan tol di daerah tersebut, menyebabkan banyak rumah-rumah yang hilang. 

“Banyak rumah yang hilang, dan masyarakat tidak tahu harus kemana. Namun sayangnya, hal ini tidak dianggap sebagai bencana, karena dikatakan bahwa jika belum terjadi amblesan, maka belum dapat dianggap sebagai bencana,” ujar Masnuah melalui sambungan telepon pada tanggal 19 Februari 2023.

Selama ini, sudah terdapat tujuh desa yang tenggelam, salah satunya Desa Timbul Seloko. Apabila dijumlahkan, terdapat 135 rumah yang tenggelam dengan 220 kepala keluarga atau 557 jiwa. Karena sering mengalami banjir rob yang datang kapan saja, mereka memilih untuk membuat rumah panggung.

Masnuah selama ini telah bekerja keras mendampingi perjuangan hak hak perempuan nelayan yang tidak pernah diakui sebagai pekerja nelayan, hanya dianggap sebagai ibu rumah tangga. Padahal, keseharian mereka dihabiskan untuk menangkap ikan di tengah laut. Sebagai perempuan nelayan, mereka dulu tidak pernah mendapat pengakuan dari negara. Namun, berkat perjuangan Masnuah dan rekan-rekannya, pekerjaan sebagai nelayan sekarang tercantum pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka. Ini merupakan prestasi yang luar biasa, mengingat sebelumnya, para perempuan seperti Masnuah hanya dituliskan sebagai ibu rumah tangga di KTP mereka. Namun, perjalanan panjang para perempuan nelayan ini unruk mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka terima masih jauh dari selesai.

Tidak hanya sampai di situ, Masnuah juga aktif mengunjungi desa-desa yang mengalami masalah dan membutuhkan bantuan. Ia terlibat dalam interaksi yang erat dengan para perempuan di desa tersebut, sampai akhirnya Masnuah mengunjungi desa-desa yang tenggelam akibat bencana banjir.

Jarak desa yang terkena banjir dengan rumahnya tak begitu jauh, hanya ditempuh dengan naik motor selama 10 menit. Karena desa tersebut terisolir, ada banyak warga yang sakit dan tidak dapat tertolong karena mereka harus keluar dari rumah dengan menggunakan perahu yang terbatas dan tidak ada pencahayaan. Bahkan, ada seorang warga desa yang meninggal karena tidak dapat tertolong dan dibawa ke rumah sakit. 

“Jarak keluar dari desa adalah 1 jam, itu juga kalau cepat mendapatkan perahu, karena rata-rata harus antri terlebih dahulu.” ungkap Masnuah

Yang membuat Masnuah menangis adalah ketika jenazah warga yang sakit ini sudah meninggal, tidak bisa dikubur karena sekeliling desa hanya terendam air. Oleh karena itu, jenazahnya akhirnya dilempar ke perairan di desa tersebut.

“Ini sungguh menyedihkan, apa yang bisa dilakukan dalam kondisi seperti ini?” ujar Masnuah

Bersama para perempuan di Puspita Bahari, Masnuah kemudian aktif mengumpulkan bantuan makanan, membuka donasi, serta menggalang dukungan dari desa-desa lainnya. 

Lama Masnuah merasakan keputusasaan. Ia pernah merasa frustasi dengan kondisi ini, bahwa usaha yang mereka lakukan bersama terasa sia-sia karena sepertinya tidak bisa membantu memperbaiki kondisi ini. 

Desa yang tenggelam dan terisolir ini memang menghadapi kondisi yang berat. Beberapa warga desa yang sakit harus menghabiskan waktu hingga 1 jam untuk mencapai tempat perahu,  dan itu pun jika mereka berhasil mendapatkan perahu. Terkadang  mereka juga harus menunggu lama untuk menggunakan perahu.

Pada malam hari, saat keluar dari desa, tidak ada lampu yang menyala. Dalam perjalanan selama 1 jam dengan perahu, mereka berusaha mencapai rumah sakit terdekat. Namun jika kondisi sakitnya parah, mereka harus melakukan perjalanan jauh ke Semarang dengan naik bis. Jarak yang panjang tersebut menjadi tantangan berat bagi warga yang sedang dalam kondisi sakit.

“Bisa dibayangkan, bagaimana jika sakitnya dalam kondisi parah, pasti akan sulit ditolong,” kata Masnuah kembali terisak.

Masnuah dan para perempuan nelayan di sana kemudian bersatu dalam solidaritas bersama. Sebagai pemimpin aktif di komunitas Puspa Bahari, sebuah komunitas perempuan nelayan yang ia dirikan, Masnuah kemudian berkeliling untuk membantu desa-desa yang membutuhkan bantuan. 

Menurut Masnuah, desa yang tenggelam tidak hanya mengalami perubahan  bentuk fisik, tetapi juga mengalami perubahan besar dalam kehidupan sehari-hari penduduknya. Sebagai desa nelayan, mereka sebelumnya  bekerja setiap hari mencari ikan. Namun setelah desa tenggelam, mereka terpaksa beralih profesi menjadi buruh pabrik, Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan bekerja di warung makan.

“Perempuan ini, jika lulusan SMA bisa bekerja di pabrik dan di resto yang mahal, tapi kalau hanya lulusan SMP, mereka akan bekerja sebagai PRT dan menjaga warung, karena letak warung sangat jauh dari keseharian kami sebagai nelayan sebelumnya,” Masnuah tiba-tiba tersentak saat menceritakan hal tersebut dan butuh beberapa waktu baginya untuk diam.

Walaupun warga masyarakat merasa terbantu dengan upaya Masnuah, yang bekerja sama dengan para perempuan di Puspita Bahari untuk mengumpulkan bantuan dan  mengadvokasi masalah ini hingga ke Provinsi Jawa Tengah, didampingi para aktivis lingkungan dan perempuan, Masnuah merasa bahwa apa yang ia lakukan tidaklah berarti karena hingga saat ini desa-desa di sana masih tetap terendam. Meskipun mereka telah mengumpulkan bantuan dan mengajukan kasus ini ke pemerintah dan DPRD agar mendapat perhatian, namun perubahan yang diharapkan belum terjadi. 

“Mereka menganggap saya ini kayak pahlawan yang turun dari langit, seolah-olah dewa, seperti malaikat, padahal saya bisa apa, tidak bisa berbuat apapun dalam kondisi ini.” ujar Masnuah

Dalam masa desa-desa yang terisolasi akibat banjir rob, Masnuah mengungkapkan data yang menunjukkan adanya peningkatan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kondisi terisolir tersebut mengakibatkan tekanan psikologis yang tinggi dan keterbatasan akses bagi penduduk, yang pada gilirannya berdampak pada meningkatnya risiko KDRT terhadap sejumlah perempuan. Hal ini yang penting untuk diperjuangkan karena seringkali luput dari pengamatan banyak orang.

Aktivisme Perempuan Nelayan

Masnuah, seorang perempuan nelayan kelahiran 14 Juli 1974, telah mengabdikan dirinya pada persoalan-persoalan perempuan di tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir.

Sejak kecil, Masnuah tinggal bersama neneknya setelah setelah ditinggalkan oleh orang tuanya yang menitipkannya pada neneknya. setelah menyelesaikan SMP, karena terbatasnya biaya untuk melanjutkan sekolah, Masnuah kecil kemudian bekerja sebagai pengumpul ikan yang kemudian dijualnya. Pada tahun 1992, ia memutuskan untuk berpisah dari suaminya dan mengurus anaknya sendirian dengan mengumpulkan dan menjual ikan. Anaknya kini telah menyelesaikan kuliah dan bekerja. Bagi Masnuah, ini merupakan salah satu pencapaian penting dalam hidupnya sebagai perempuan janda yang mampu membesarkan anaknya melalui  usaha berjualan ikan. 

Saat giat berjuang mencari uang untuk anaknya itulah, Ia merasa jika ikan-ikan ini hanya dijual mentah, maka pembeli akan merasa bosan dan berhenti membeli. Dengan kreativitasnya, Masnuah kemudian mengumpulkan para perempuan di sana untuk mengolah ikan menjadi keripik dengan berbagai olahan seperti krispi udang, dendeng ikan, abon ikan, dan keripik cumi. Rumahnya pun bertransformasi menjadi pusat pengolahan ikan, di mana banyak perempuan datang setiap hari. Bagi Masnuah, ini adalah kebahagiaan tersendiri karena ia dapat membangun usaha bersama dengan para perempuan. 

Sentra pengolahan ikan dan pemberdayaan ekonomi perempuan ini kemudian diberi nama ‘Puspita Bahari’. Tak hanya itu, Masnuah juga memperjuangkan agar para ibu mendapatkan identitas sebagai nelayan di Kartu Tanda Penduduk (KTP), karena selama ini mereka sering dianggap remeh sebagai ibu rumah tangga yang  tidak bekerja.

Banyak sekali tantangan yang dialami Masnuah untuk sampai pada titik ini. Ia sering kali dicemooh, dianggap aneh karena mengajak perempuan keluar rumah dan berkumpull, padahal tujuannya hanya untuk berorganisasi. Di desa-desa nelayan, budaya dan norma yang berlaku mengharuskan para perempuan untuk hidup sesuai dengan aturan yang ada, seperti menikah pada usia tertentu yang ditentukan oleh umur mereka, kemudian memiliki anak, banyak tinggal di rumah, dan bercerai dianggap sebagai hal yang tabu . 

Perceraian bukanlah proses yang mudah bagi perempuan seperti Masnuah, namun semua ini harus dilaluinya. Sebagai seorang janda, ia sempat menghadapi tantangan dalam mengajak perempuan keluar rumah dan berorganisasi, namun dengan ketekunan dan keberanian, ia berhasil melewati semua itu. 

Saat ini, Masnuah telah menyelesaikan pendidikan menengahnya dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Terbuka. Bagi Masnuah, menjadi mahasiswa  adalah sesuatu yang menyenangkan karena sekolah tak mengenal batasan usia. 

Puspita Bahari, saat ini telah berkembang menjadi sebuah organisasi perempuan nelayan yang tidak hanya fokus pada perekonomian, tetapi juga memerangi  kekerasan dan kesenjangan gender. 

Puspita Bahari berdiri pada 25 Desember 2005. Dan saat ini telah memiliki kantor sebagai sekretariatnya. Organisasi ini juga menjalin kemitraan dengan lembaga seperti LBH APIK dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dalam hal pengorganisiran dan bantuan hukum. 

Berjuang melawan budaya patriarki menghadirkan konsekuensi yang tak mudah bagi para perempuan nelayan. Masnuah mengisahkan, siapapun yang terlibat di Puspita Bahari sering diberi label sebagai perempuan yang tidak baik karena mereka menentang norma-norma budaya patriarki.“Gerakan Puspita Bahari dibilang gerakan yang melawan kodrat karena mengajari perempuan untuk berani. Berani keluar rumah, berani menentang suami yang melakukan kekerasan, berani melawan budaya yang menganggap perempuan harus nurut, disuruh nrimo.” ujar Masnuah.