Tak kurang dari enam ribu warga menggunakan hak suara mereka dalam pemilihan Kepala Desa di Kanjilo, Kecamatan Barombong, Gowa, Sulawesi Tengah, pada tahun 2017. Terdapat lima kandidat yang mencalonkan diri. Semua calon mempromosikan diri sebagai ‘putra-putra daerah’ sebab mereka lahir dan tinggal di desa tersebut. Kecuali satu-satunya kandidat perempuan, Nuriani. Perempuan kelahiran tahun 1973 itu bukan warga asli setempat.
Nuriani adalah pendatang asal Sinjai, yang menjadi warga setempat karena menikah dengan suaminya yang berasal dari Kanjilo. Ia telah menetap di sana selama bertahun-tahun.
Di tengah maskulinitas dan politik identitas yang masih kental pada kontestasi Kepala Desa saat itu, Nuriani tak menyangkal sempat menghadapi tantangan. Sebagai ‘bukan warga asli’ yang juga perempuan, kapabilitas Nuriani dipertanyakan.
Terkait identitasnya sebagai perempuan misalnya, ada banyak pertanyaan yang paling Ia ingat banyak bermunculan seperti:
“Jika Ibu sebagai Kepala Desa nantinya, bagaimana melayani suami dan anak?”
“Jika Kepala Desanya Perempuan, apa yang akan dilakukan jika terjadi kejadian di wilayah desa saat tengah malam?”
Menghadapi pertanyaan pertama yang cenderung mendomestifikasi perempuan, Nuriani tak ambil pusing. Dia merasa bersyukur karena keluarganya, baik suami maupun anak-anaknya, sangat mendukung keputusannya untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. Jadi, urusan domestik dan pengasuhan bukanlah masalah. Tanpa adanya Pekerja Rumah Tangga (PRT), mereka bekerja sama mengerjakannya.
Upaya mendiskreditkan perempuan dengan “pembatasan jam malam” selanjutnya dapat dengan tegas dijawab Nuriani, bahwa dalam struktur kepemimpinan di desa, Kepala Desa tentu saja tidak bekerja sendirian, melainkan, terdapat kerja sama dan pembagian peran yang dapat dilakukan oleh seluruh jajarannya.
Nuriani memberikan contoh mengenai situasi saat terjadi bencana alam di tengah malam, di mana Kepala Desa dapat menginstruksikan perangkat desa sampai RT/RW, untuk melakukan penyelamatan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Nuriani menekankan bahwa itu merupakan persoalan manajemen kepemimpinan. Bukan stigmatisasi berbasis gender, di mana pemimpin perempuan selalu dianggap tidak kompeten.
Dalam pemaparan visi misinya, perempuan yang kini memasuki usia 50 tahun itu menekankan fokusnya pada pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Di samping itu, dia juga berkomitmen untuk meningkatkan perekonomian masyarakat desa dan menangani potensi ancaman serius penanggulangan seperti bencana di Kanjilo.
Tunjukkan Kapasitas dan Aksi Nyata
Sejak menikah pada tahun 1994, Nuriani telah tinggal di Kanjilo, Sulsel, bersama suaminya. Perempuan lulusan S1 Pendidikan Agama ini bekerja sebagai tenaga pendidik. Selama dua tahun berjalan, dia memprakarsai majelis taklim di desa Kanjilo. Nuraini aktif menjadi pengurus dari tahun 1998 hingga 2012.
Selama periode tersebut, Nuriani sering mengadakan kegiatan bersama para perempuan di desa. Selain kelompok pengajian, majelis taklim juga terlibat aktif sebagai relawan kemanusiaan, terutama ketika terjadi bencana di wilayah desa.
Berbekal pengalaman aktivisme di desa, Nuriani dipercaya untuk menjabat sebagai Ketua Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Di posisi tersebut, dia terlibat dalam penanganan berbagai permasalahan terkait isu perempuan dan anak. Keberhasilan ini kemudian berkontribusi dalam upaya Nuriani untuk menjadikan Desa Kanjilo sebagai Desa Ramah Ibu dan Anak, dengan dukungan dari LBH APIK.
Berkat pengalaman kepemimpinannya yang beragam, Nuriani memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai calon Kepala Desa Kanjilo. “Setelah banyak dukungan yang masuk, saya memulainya dengan bismillah. Alhamdulillah, saya mendapatkan suara terbanyak,” ujar Nuriani.
Saat itu, dia tidak pernah mengira bahwa akhirnya akan terpilih menjadi Kepala Desa. Dengan kapasitas dan pengalaman yang dimilikinya, dia bersyukur dan berterima kasih atas kepercayaan tersebut. Dia bertekad untuk menjalankan visi misinya dalam upaya pembangunan desa dan kesejahteraan masyarakatnya.
Melihat proses pemilihan Kepala Desa yang masih begitu maskulin, bagaimana situasi pertama Nuriani ketika mulai memimpin di kantor desa? Terlebih lagi, dominasi staf desa yang mayoritas laki-laki dan minim perempuan.
Nuriani mengatakan bahwa itu adalah proses yang berjalan. Meski awalnya ada kekhawatiran tentang penerimaan dirinya, namun dia terus menjalin komunikasi dan membuktikan kapasitas kerjanya. Dia merangkul seluruh jajaran pejabat desa dan menjaga kesolidan dengan visi misi bersama.
Seiring berjalannya waktu, Nuriani mengungkapkan bahwa tim di desanya semakin solid dan bahu-membahu dalam melaksanakan program-program pembangunan dan pengelolaan desa. “Setelah melihat kapasitas dan kepemimpinan saya, serta keakraban saya dengan staf, atasan dan masyarakat, mereka semua merasa nyaman,” lanjutnya.
Penggerak Desa Siaga Bencana
Desa Kanjilo Sulsel terletak di dataran rendah antara sungai dan laut, menjadikannya kerap kali mengalami banjir. Belum lagi, cuaca ekstrem yang sering terjadi membuat setiap tahun hamper selalu ada kawasan desa yang terendam.
Berdasarkan laporan yang diungkapkan oleh Nuriani, setidaknya terdapat empat titik terdiri dari tiga dusun yang rentan terkena banjir di kawasan tersebut, yaitu dusun Bilagi, dusun Tamala’lang dan dusun Kanjilo.
Menurut Nuriani, selain masalah kondisi geografis, persoalan sampah yang terjadi di kawasan Kanjilo, Sulsel, dan menyumbat jalannya air juga menjadi perhatian. Terlebih lagi, dengan semakin bermunculannya pengembang properti perumahan yang berkontribusi menyumbang sampah dan limbah. Akibatnya, ekosistem lingkungan menjadi lebih rentan terganggu karena wilayah yang seharusnya menyerap air dan digunakan sebagai lahan sawah telah dibangun menjadi bangunan-bangunan.
Data dari desa Kanjilo mencatat bahwa hingga saat ini terdapat 14 pengembang properti yang beroperasi di wilayah desa tersebut. Para pengembang itu tersebar di berbagai wilayah desa yang memiliki jumlah penduduk sekitar 10 ribu orang.
Apa saja langkah yang dilakukan oleh Nuriani sebagai Kepala Desa?
Setelah terpilih sebagai Kepala Desa beberapa tahun lalu, Nuriani segera meluncurkan inisiatif Desa Siaga Bencana. Ia membaginya menjadi tiga upaya, yaitu pencegahan, penanganan dan pemulihan terhadap bencana.
Dalam upaya pencegahan, Nuriani mengintensifkan proses pengerukan sungai (normalisasi sungai) guna mengurangi potensi banjir. Dengan adanya bantuan dana desa yang telah disalurkan kepada desa-desa sejak tahun 2015, langkah ini semakin dapat dilaksanakan.
Melansir situs resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemerintah provinsi Sulsel telah menerima bantuan dana siap pakai (DSP) untuk penanganan darurat bencana hidrometeorologi yang melanda wilayah Sulsel sejak 23 Desember 2022. Total nilai bantuan yang diberikan mencapai Rp 5,4 miliar.
Sebanyak 14 kabupaten/kota yang terdampak bencana masing-masing menerima Rp.250 juta sebagai dana operasional, ditambah Rp.100 juta sebagai bantuan logistik. Sedangkan, Rp.500 juta lainnya diberikan kepada Pemerintah Provinsi Sulsel.
Mengenai pencegahan bencana dari sisi dampak pembangunan, Nuriani juga mendorong adanya penertiban izin prinsip bagi pengembang dalam hal pembangunan perumahan di wilayah desa. Sebab menurut Nuriani, sekitar 75% banjir disebabkan oleh perumahan, termasuk sistem saluran air dan pembuangan sampahnya.
Namun sayangnya, belum ada sanksi tegas terhadap pelanggaran dampak lingkungan tersebut. Nuriani menyatakan, “Kami tidak memiliki wewenang penuh, karena izin diberikan oleh pihak yang lebih kompeten di tingkat kabupaten. Kami telah sampaikan hal ini kepada pihak di atas, pihak terkait di tingkat yang lebih tinggi, supaya diberikan sanksi atau peringatan kepada developer guna mengatasi masalah banjir.”
menurut Nuriani, pemerintahan tingkat sampai sekarang sudah cukup responsif mendengarkan masukan dari pihak desa. Mereka bahkan menyatakan bahwa pemerintahan daerah tidak akan menandatangani izin prinsip untuk membangun perumahan yang berpotensi merusak lingkungan.
Dalam upaya sosialisasi, Nuriani memaksimalkan komunikasi dan sosialisasi berbasis komunitas. Dia bekerja sama dengan komunitas yang ada di desa untuk mendapatkan partisipasi dari. Pemerintah desa secara rutin mengadakan edukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta memberikan pelatihan tentang perbaikan drainase di daerah yang rawan terkena banjir.
Dalam proses tersebut, Nuriani juga mengajak anak-anak muda di Kanjilo untuk berkolaborasi. Para perempuan desa yang tergabung dalam berbagai organisasi masyarakat ataupun majelis juga turut terlibat dan diberdayakan.
Nuriani juga aktif dalam menjalin komunikasi dengan masyarakat. Di era digital ini, Nuriani mengorganisir para ketua dusun serta RT/RW untuk berkoordinasi melalui whatsapp group yang juga terhubung dengan masyarakat. Di samping jalur konvensional yang tetap dilakukan di setiap RT/RW untuk menyampaikan informasi mengenai potensi bencana ke seluruh warga sehingga informasi dapat tersebar secara merata.
Bersamaan dengan itu, sebagai Kepala Desa yang menduduki jabatan strategis, Nuriani memiliki kesempatan untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk pihak provinsi dalam upaya penanggulangan bencana. Selain itu, Nuriani juga fokus pada penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) desa dalam menghadapi bencana, serta melaporkan kebutuhan peralatan siaga bencana yang diperlukan. Salah satu kebutuhan yang paling mendesak saat ini adalah penyediaan perahu karet yang tersebar secara merata.
Pihak desa juga telah menyiapkan titik-titik aman sebagai tempat berkumpul bagi warga saat terjadi bencana. Langkah Ini bertujuan untuk memudahkan proses evakuasi warga jika terjadi bencana.
Ketika bencana terjadi, itu menjadi fokus utama bagi Nuriani dan tim desa dalam penanganan tanggap bencana. Selain melakukan peninjauan lokasi dan evakuasi, pihak desa juga dengan segera mendirikan dapur bersama yang telah dikoordinir sebelumnya. Di dapur umum tersebut, warga desa dengan sukarela bergotong royong memasak makanan untuk para korban bencana.
Dapur umum ini tidak diperoleh dari Dinas Sosial, melainkan dibangun sendiri oleh warga atas inisiatif mereka. Dapur umum itu dijalankan melalui kerja sama dengan seluruh elemen Karang Taruna, termasuk remaja, ibu-ibu dan bapak-bapak di desa tersebut.
Tak kalah penting, upaya pemulihan korban pasca-bencana juga menjadi perhatian utama. Selain memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan secara fisik, Nuriani juga menggerakkan pemulihan secara psikologis, terutama bagi perempuan dan anak-anak.
Pihak desa berkolaborasi dengan berbagai komunitas yang memiliki kepedulian terhadap anak dan perempuan untuk melaksanakan upaya tersebut. Mereka memberikan pendampingan secara psikologis dan penguatan agar korban dapat bangkit kembali jika dibutuhkan.
Sebagai Kepala Desa, Nuriani mengaku selalu mendatangi langsung warganya yang terdampak bencana, sambil melibatkan juga kader-kader desa. “Kami turun bersama-sama dengan Camat, Kabupaten, dan Dinas Sosial untuk memberikan pengarahan dan motivasi kepada para ibu supaya tidak berkecil hati,” ujarnya.
Solusi bagi masyarakat Kanjilo yang mayoritas sebagai petani usai terjadinya banjir adalah dengan mendorong mereka untuk memiliki asuransi pertanian. Melalui pembayaran premi tertentu, petani akan memiliki jaring pengaman dan dapat bertahan dari dampak bencana atau faktor lain yang menyebabkan gagal panen. Meskipun demikian, diperlukan sosialisasi yang lebih masif agar lebih banyak petani yang bisa lebih aware akan pentingnya asuransi pertanian.
Nuriani mendorong para kepala desa lainnya di Indonesia untuk aktif dalam menggalakkan program desa siaga bencana. Berdasarkan pengalamannya, dia membagikan tips bahwa langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengenal wilayah bersama para aparat desa yang ada. Mengetahui titik-titik mana yang rawan terhadap bencana dan juga titik mana saja yang aman sebagai lokasi berkumpul dan jalur evakuasi.
Pemetaan kelengkapan yang dimiliki dan dibutuhkan desa dalam menghadapi bencana ini juga merupakan langkah penting yang perlu dilakukan. Koordinasi antar tim penanganan bencana dan komunikasi dengan pihak-pihak terkait harus disiapkan dengan baik.